“KASUS PELANGGARAN HAM YANG YANG MENIMPA ANAK
– ANAK DI BAWAH UMUR, KHUSUSNYA DALAM BENTUK PELECEHAN SEKSUAL”
Di susun oleh : 1. Arjun Eka Putra (002)
2.
Andika Bondor Orlando (007)
3.
Hery Gunawan S (026)
4.
Nurhadi
Indra
5.
Rendy Kurniadinata
6.
Muhammad
Rizki
KATA
PENGANTAR
Puji Dan Syukur
kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha esa yang selalu melimpahkan karunianya
kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Sejalan
dengan dinamika bangsa ini yang masih terus mencari bentuk yang lebih baik
untuk menghasilkan generasi cerdas yang berbudi,maka kami membuat makalah ini
sesuai dengan pendekatan materi yang diberikan dengan tujuan agar para
mahasiswa mampu mengembangkan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
serta mampu bersikap positif kepada sesama manusia. kami telah berusaha
menyusun makalah ini sebaik mungkin. Akan tetapi, kami menyadari bahwa makalah
ini masih belum sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari berbagai pihak
untuk perbaikan isi makalah ini agar bisa terwujud dengan lebih baik.
II.LATAR
BELAKANG
A.
PENDAHULUAN
Hak merupakan
unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya
berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan
interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu
yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali
dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung
tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum
reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak
sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita
melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau
pemenuhan HAM pada diri kita sendiri.
HAM juga hak dasar yang dimiliki oleh setiap
pribadi manusia secara kodrati sebagai anugerah dari Tuhan, mencangkup hak
hidup, hak kemerdekaan/kebebasan dan hak memiliki sesuatu. Ini berarti bahwa
sebagai anugerah darituhan kepada makhluknya, hak asasi tidak dapat dipisahkan
dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh
suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi maka
manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan. Hak
asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang dipunyai oleh semua orang sesuai dengan
kondisi yang manusiawi.1 Hak asasi manusia ini selalu dipandang sebagai
sesuatuyang mendasar, fundamental dan penting. Oleh karena itu, banyak pendapat
yangmengatakan bahwa hak asasi manusia itu adalah “kekuasaan dan keamanan” yang
dimiliki oleh setiap individu dan wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Walau demikian,
bukan berarti bahwa perwujudan hak asasi manusia dapat dilaksanakan secara
mutlak karena dapat melanggar hak asasi orang lain. Memperjuangkan hak sendiri
sampai-sampai mengabaikan hak orang lain, ini merupakan tindakan yang tidak
manusiawi. Kita wajib menyadari bahwa hak-hak asasi kita selalu berbatasan dengan
hak-hak asasi orang lain. Biar pun peraturan untuk HAM sudah di buat dan sudah
di perkatat hukumannya, tetapi pelangaran HAM sering terjadi dimana pun dan
kapan pun. Dan pelanggarannya pun sering terjadi tetapi para pelaku malah tidak
memikirkan bagaimana hukumannya kalau mereka melanggar HAM. Apabila sudah
melanggar HAM pasti itu hukumannya sangat berbahaya dan pastinya sudah di hukum
seberat-beratnya. Padahal Hak Asasi Manusia itu sangat rentan atau sangat tidak
bisa untuk di langgar. Karena itu merenggut hak-hak yang di miliki setiap
manusia yang memiliki kehidupan.
Salah satu
pelanggaran yang sering terjadi dari dulu dan sekarang terjadi adalah pelecehan
terhadap anak di bawah umur. Padahal pelanggaran yang di lakukan ini sangat lah
tidak boleh terjadi karena dampak dari pelanggaran ini merenggut hak yang di
miliki oleh anak tersebut. Dan dari itu pasti anak tersebut memiliki luka fisik
dan mental juga.
Saat ini tindak
pidana kekerasan seksual merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di
kalangan masyarakat. banyak sekali pemberitaan di media massa baik cetak maupun
elektronik memberitakan kejadian tantang kekerasan seksual. Jika mempelajari
sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat
dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti
perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, kejahatan pemerkosaan akan selalu
ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh
dengan sebelumnya. Tindak pidana kekerasan seksual ini tidak hanya terjadi di
kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau
pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang
nilai tradisi dan adat istiadat.
Di Indonesia
kasus kekerasan seksual setiap tahun
mengalami peningkatan, korbanya bukan hanya dari kalangan dewasa saja sekarang
sudah merambah ke remaja, anak-anak bahkan balita. Dan yang lebih tragis lagi
pelakunya adalah kebanyakan dari lingkungan keluarga sendiri. Kejahatan seksual
bagi korbanya adalah kejahatan yang dilakukan seumur hidup, dimana korbanya
mengalami trauma yang berkepanjangan apa lagi yang jadi korbanya adalah
anak-anak, yang merupakan generasi penerus bangsa.
Masyarakat
Indonesia yang dulu dikenal sebagai penduduk yang ramah, sopan, dan memiliki
budaya yang diakui dunia kini sudah terkikis, dengan makin banyaknya kekerasan,
pemerkosaan, konflik dengan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama, ras,
budaya dan suku.
Dari rentetan
kejadian tersebut, apakah sudah sedemikian rendahnya moral dan etika serta
norma bangsa ini, masyarakat sudah tidak merasakan kenyamanan dan keamanan di
lingkunganya sendiri kerana bahaya kriminalitas sudah mengancam, bahkan
lingkungan keluarga yang sebagai sandaran hidup sudah mulai tidak aman lagi.
pemerintah sebagai pemangku kebijakan seolah tidak berdaya menghadapi
masyarakatnya yang sudah krisis moral,
pemerintah seakan-akan membiarkan para pelaku kejahanan seksual dihukum dengan hukuman
yang ringan dan tidak adanya solusi untuk menghindari kejadian tersebut terulang kembali. Maka dari
itu kami mengambil judul tentang”pelanggaran HAM yang berujung pada pelecehan
seksual terhadap anak di bawah umur.
B.
Ruang Lingkup Kajian / Studi Kasus
Salah satu
bentuk kekerasan paling menghancurkan yang dilakukan pada anak-anak adalah
pelecehan seksual. Pelecehan seksual adalah: setiap tindakan seksual (secara
terang-terangan atau sembunyi-sembunyi) yang dipaksakan atas seorang anak di
bawah umur delapan belas tahun. Sudah terlalu lama kebudayaan kita
mendefinisikan pelecehan dalam arti hubungan kelamin saja. Pelecehan seksual
dapat meliputi setiap tindakan kekerasan seksual dari persetubuhan sampai
penyimpangan seks voyeurism (dilirik secara seksual). Anak-anak tidak pernah
didisain oleh Tuhan untuk memiliki energi seks dalam bentuk apapun dalam jiwa
(dan tubuh) mereka. Kekerasan seksual ini, entah datangnya dari orang-orang
dewasa atau anak-anak yang lebih tua (secara eksplisit atau halus), dapat
meninggalkan berbagai macam bentuk atau intensitas kehancuran yang berbeda.
Pelecehan
seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa
atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual.Bentuk
pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk
melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang
tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak,
melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin
anak (kecuali dalam konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis),
melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual
seperti pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi
anak.
Efek kekerasan
seksual terhadap anak antara lain depresi, gangguan stres pascatrauma,
kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasa,
dan dan cedera fisik untuk anak di antara masalah lainnya.
Pelecehan
seksual pada anak akhir-akhir ini kerap terjadi di masyarakat. Dan yang lebih
mengejutkan adalah pelaku bukanlah orang asing, tetapi malah orang-orang di
sekitar mereka. Data kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak (usia di
bawah 18 tahun) yang dihimpun oleh Pusat Krisis Terpadu untuk Perempuan dan
Anak di Pusat Klinik Terpadu RSCM dari Juni 2000 hingga Desember 2007
menunjukkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan mencapai 708 kasus
dan kasus kekerasan seksual pada anak laki-laki terdapat 118 kasus.
Tidak ada definisi universal
tentang pelecehan seksual anak. Namun, karakteristik utama sexual abuse adalah
dominasi orang dewasa yang memungkinkan dia untuk memaksa anak dalam aktivitas
seksual. Pelecehan seksual pada anak itu bisa mencakup cumbuan pada alat
kelamin anak, masturbasi, kontak oral-genital, penetrasi digital, dan hubungan
vagina dan dubur. Hal tersebut tidak hanya terbatas pada kontak fisik, tapi
dapat mencakup pelecehan tanpa kontak, seperti memperlihatkan alat kelamin,
mengintip, dan pornografi anak.
Statistik yang
akurat tentang prevalensi pelecehan seksual anak dan remaja sulit untuk
dikumpulkan karena banyak kasus yang tidak dilaporkan dan kurangnya hukum yang
mengatur tentang masalah tersebut. Di Indonesia, sudah ada UU No.23 tahun 2002,
tentang Perlindungan Anak, tapi pada prakteknya hukuman yang dijatuhkan pada
pelaku masih mengacu pada KUHP, yang notabene lebih ringan. Mirisnya, para
pelaku sulit untuk dideteksi. Para pelaku ini, umumnya adalah orang yang bisa
cepat akrab dan sayang terhadap anak-anak. Ia juga pandai membujuk. Mungkin,
karena para pelaku bisa bersikap sangat sopan dan halus tutur katanya. Diagnosa
pelecehan seksuan ini sering menjadi sangat kompleks. Bukti fisik yang
meyakinkan pada pelecehan seksual relatif sulit ditemukan dalam kasus-kasus
yang dicurigai. Untuk semua alasan ini, bila diduga telah terjadi pelecehan,
harus segera dikonsultasikan dengan seorang profesional kesehatan yang
terlatih.
III.PEMBAHASAN
C.
KONSEP TEORI
Kekerasan
terhadap anak dalam bentuk pelecehan seksual memiliki dapak yang sangat
berbahaya bagi masa depannya, Salah satu dampak yang dapat terjadi akibat
pelecehan seksual pada anak adalah :
·
Dampak psikis merupakan
dampak kekerasan yang dapat menyebabkan terguncangnya kondisi jiwa atau
psikologis anak. Akibatnya anak tersebut dapat mengalami depresi, trauma,
fobia, bahkan hingga gangguan seksual.
·
Dampak fisik merupakan
dampak yang dapat menyebabkan luka, seperti luka memar serta dapat menimbulkan
suatu penyakit maupun trauma pada daerah tubuh tertentu yang mengalami
kekerasan.
·
Dampak sosial bagi anak
yang menjadi korban kekerasan mungkin akan mengalami pengucilan oleh masyarakat
di sekitarnya, bahkan dapat menimbulkan sebutan atau julukan baru yang tidak
pantas baginya.
·
meningkatnya resiko
psikotik (gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan individu membedakan
kenyataan dan fantasi), mengalami Depresi, sulit menerima kenyataan pahit
tersebut di kemudian hari, Menjadi Pribadi yang menutup diri dari lingkungan
masyarakat.
D. SINTESA
Di Indonesia Pelecehan
seksual terhadap anak sudah sangat sering terjadi bahkan baru–baru ini
masyarakat di kejutkan dengan adanya berita dan laporan Pelecehan seeksual
terhadap anak yang terjadi di salah satu Sekolah ternama di Jakarta, pelecehan
seksual yang di lakukan oleh oknum pembersih sekolah dengan cara melakukan
pelanggaran HAM yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak berumur 5 tahun.
Hal ini
menunjukkan bahwah pelecehan seksual terhadap anak dapat terjadi di mana saja
bahkan di sekolah tempat anak – anak menuntut ilmu. Dari kasus tersebut orang
tua di tuntut lebih waspada dan lebih memperhatikan anak – anaknya akan adanya
bahaya tersebut. Dari masalah ini kami mengambil contoh kasus yaitu pelecehan
seksual yang terjadi di Jakarta International School
(JIS). Kami mengutip salah satu berita yang di muat di surat kabar :
Pada kasus
pelecehan seksual yang terjadi di Jakarta International
School (JIS) tersebut Polisi terus berupaya mengungkap kasus pelecehan
seksual yang menimpa M, siswa Taman Kanak-kanak (TK) Jakarta International School (JIS). Dua tersangka yang kini
ditahan diduga memiliki kelainan seksual. Hal itu diketahui setelah polisi
melakukan pemeriksaan kejiwaan terhadap dua pelaku, yakni Agun dan Firziawan.
”Punya penyakit psikis dan masuk dalam golongan homoseksual,” tutur Kabid Humas
Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto di Jakarta.Dua tersangka tersebut telah
mengakui perbuatannya. Menurut Rikwanto, Agun dan Firziawan ditetapkan sebagai
tersangka setelah terbukti ada bakteri di anus korban yang identik dengan kedua
pelaku berdasarkan uji laboratorium. ”Kedua tersangka mengakui melakukannya
(pelecehan) pada 20 Maret di toilet sekolah,”
jelasnya. Jadi modusnya para tersangka yang merupakan petugas kebersihan itu
mengamati aktivitas siswa sehari-hari seperti yang buang air kecil atau sekadar cuci tangan. ”Mereka amati siapa yang bisa
diperdayai,” paparnya. Tersangka yang berjenis kelamin perempuan ini tidak
ditahan karena belum cukup bukti. Dia hanya dikenai pasal turut serta. “Dia
hanya mengetahui, tapi tidak melapor,” kata Rikwanto. Sementara dua orang yang
masih diperiksa intensif adalah Zainal dan Anwar. Keduanya sejauh ini masih
berstatus sebagai saksi. Untuk mengungkap kasus tersebut, polisi juga telah
memeriksa pihak sekolah elite tersebut. ”Kita panggil pihak sekolah untuk
mengetahui bagaimana perekrutan dan pengamanannya,” katanya. Polisi juga
meminta bantuan pihak sekolah untuk mencari kemungkinan adanya pelaku lain atau
korban lain. Seperti diberitakan, M, murid TK di JIS, diduga menjadi korban
kekerasan seksual. Ibu korban, T, menduga pelaku merupakan petugas kebersihan
di sekolah tersebut dan lebih dari dua orang. Ibu korban melaporkan dugaan
kekerasan seksual terhadap anaknya ke Polda Metro Jaya berdasarkan Laporan
Polisi Nomor: TBL/ 1044/III/2014/PMJ/ Ditreskrimum tertanggal 24 Maret 2014
terkait dugaan pelanggaran Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka
Sirait mengatakan hingga pertengahan April 2014 pihaknya telah mendapat 239
laporan adanya kasus kekerasan terhadap anak di Ibu Kota. Jumlah tersebut belum
termasuk kasus yang tidak terlacak atau sengaja tidak dilaporkan oleh orang tua
korban.
IV.KESIMPULAN
E.
PEMECAHAN MASALAH
Dari contoh kasus pelecehan seksual
terhadap anak tersbut, untuk itu ada beberapa cara untuk melindungi anak dari
pelecehan seksual ini, antara lain adalah:
1. Jangan
terkecoh dengan saran yang sudah biasa kita dengar. “Jangan Bicara dengan Orang
Asing“, tidak berlaku dalam kasus ini. Kebanyakan pelaku pelecehan seksual pada
anak ini adalah orang-orang yang dikenalnya.
2. Jangan
mengajar anak-anak untuk memberikan pelukan kerabat dan ciuman. Biarkan mereka
mengungkapkan kasih sayang pada istilah mereka sendiri.
3. Ajarkan
anak-anak anda pendidikan seks dasar. Ajarkan mereka bahwa tubuh mereka adalah
berharga dan tidak ada seorang pun yang boleh menyentuh bagian-bagian “pribadi”
tubuh mereka, kecuali orang-orang tertentu dan di tempat tertentu (seperti
dokter dan Rumah Sakit). Seorang profesional kesehatan juga dapat membantu
untuk memberikan pendidikan seks untuk anak-anak jika orang tua tidak nyaman
melakukannya.
4. Kembangkan
kemampuan komunikasi yang kuat pada anak-anak anda. Dorong mereka untuk
bertanya dan berbicara tentang pengalaman mereka. Jelaskan pentingnya
melaporkan kejanggalan yang terjadi kepada anda atau orang dewasa lain yang
dipercaya.
5. Ajarkan
anak-anak anda bahwa perilaku seksual dari orang dewasa pada dirinya adalah
salah dan melawan hukum. Beri mereka kepercayaan diri untuk menegaskan dirinya
terhadap setiap orang dewasa yang berusaha untuk memperlakukan mereka secara
tidak wajar mereka.
6. Kenali
teman anak-anak dan keluarga mereka.
7. Instruksikan
anak anda untuk tidak pernah
masuk ke mobil dengan orang yang
tidak pernah anak itu kenal
F. KESIMPULAN
Tahun 2014 ancaman kejahatan seksual pada anak
semakin meningkat, diawal tahun ini Negara, masyarakat Indonesia bahkan dunia
dikejutkan dengan makin maraknya pemerkosaan, pelecehan seksual, dan berbagai
pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku bahkan sebelum dibunuh diperkosa terlebih
dahulu.
Media massa baik cetak maupun
elektronik semakin intens memberitakan tentang kejadian–kejadiaan yang
pemerkosaan, kemanan dan kenyamananan sudah tidak lagi dirasakan oleh
masyarakat Indonesia apalagi yang mempunyai anak perempuan remaja bahkan balita
merasakan kecemasan akan keselamatan anak-anaknya.
Pemerintah selaku pemengku kebijakan
mempunyai kewajiban melindungi warganya terhadap berbagai ancaman dan teror
yang menghantui masyarakat. Sesuai dengan undang –undang dimana Negara menjamin
keamanan dan ketentaman setiap warganya, serta undang-undang perlindungan anak
, dimana Negara melindungi keamanan anak-anak Indonesia dari bahaya-bahaya yang
mengancam.
Keluarga
diharapkan senantisa waspada dan lebih memperhatikan lagi akan menjaga
anak-anaknya, karena ancaman kejahatan seksual bisa terjadi dimana saja baik
dari lingkungan keluarga, bahkan masyarakar sekitar kita
V. DAFTAR PUSTAKA
VI. LAMPIRAN
-108 anak
jadi korban kekerasan seksual di Jabar
Sukabumi (ANTARA News) - Sejak 2012
tercatat ada 108 anak di Jawa Barat yang menjadi korban kekerasan seksual,
termasuk 52 anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersangka AS alias Emon
di Sukabumi.
Menurut Ketua Pusat Pelayanan Terpadu
Perlindungan Perempuan dan Anak (PPT2PA) Jawa Barat, Neti Heryawan, sejak 2012
pihaknya telah menangani 56 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan jika
ditambah dengan 52 korban Emon, berarti ada 108 anak di Jabar yang menjadi
korban kekerasan seksual.
Menurut
Neti, pelaku kekerasan seksual terhadap anak biasanya orang dekat atau dikenal
korban, bahkan dari 56 kasus yang ditangani PPT2PA mayoritas pelakunya adalah
anggota keluarga seperti ayah tiri, ayah kandung, saudara, dan orang dekat
lainnya.
Seperti
pada kasus Emon, ternyata si korban dengan tersangka sudah saling mengenal,
dengan cara diiming-imingi sesuatu oleh tersangka, korban kemudian terbujuk.
Terhadap
para korban kekerasan seksual oleh Emon, PPT2PA akan memberikan perlindungan
dan membantu proses penyembuhan beban traumatik sampai sembuh.
Dan
kepada keluarga atau orang tua korban akan diberikan konseling agar dalam
memberikan pendidikan kepada anaknya tidak menyalahi dan tidak menambah beban
si anak.
Sampai
saat ini, data dari Polres Sukabumi Kota menyebut, jumlah anak yang menjadi
korban kekerasan seksual Emon menjadi 52 orang dan 39 anak di antaranya sudah
divisum, tujuh lagi menderita kerusakan pada anus.
-Pedofilia
Sebagai diagnosa medis, pedofilia didefinisikan sebagai gangguan
kejiwaan pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan
usia 16 atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual
primer atau eksklusif pada anak prapuber (umumnya usia 13 tahun atau lebih
muda, walaupun pubertas dapat bervariasi). Anak harus minimal lima tahun lebih
muda dalam kasus pedofilia remaja (16 atau lebih tua) baru dapat
diklasifikasikan sebagai pedofilia. Kata pedofilia berasal dari bahasa Yunani:
paidophilia (παιδοφιλια)—pais (παις, "anak-anak") dan philia
(φιλια, "cinta yang bersahabat" atau "persahabatan",
meskipun ini arti harfiah telah diubah terhadap daya tarik seksual di zaman
modern, berdasarkan gelar "cinta anak" atau "kekasih anak,"
oleh pedofil yang menggunakan simbol dan kode untuk mengidentifikasi preferensi
mereka. Klasifikasi
Penyakit Internasional (ICD) mendefinisikan pedofilia sebagai
"gangguan kepribadian dewasa dan perilaku" di mana ada pilihan
seksual untuk anak-anak pada usia pubertas atau pada masa prapubertas awal.
Istilah ini memiliki berbagai definisi seperti yang ditemukan dalam psikiatri, psikologi,
bahasa setempat, dan penegakan
hukum.
Menurut Diagnostik
dan Statistik Manual Gangguan Jiwa (DSM), pedofilia adalah parafilia di
mana seseorang memiliki hubungan yang kuat dan berulang terhadap dorongan seksual
dan fantasi tentang anak-anak prapuber dan di mana perasaan mereka memiliki
salah satu peran atau yang menyebabkan penderitaan atau kesulitan interpersonal. Pada
saat ini rancangan DSM-5 mengusulkan untuk menambahkan hebefilia
dengan kriteria diagnostik, dan akibatnya untuk mengubah nama untuk gangguan
pedohebefilik. Meskipun gangguan ini (pedofilia) sebagian besar
didokumentasikan pada pria, ada juga wanita yang menunjukkan gangguan tersebut,
dan peneliti berasumsi perkiraan yang ada lebih rendah dari jumlah sebenarnya
pada pedofil perempuan.]
Tidak ada obat untuk pedofilia yang telah dikembangkan. Namun demikian, terapi
tertentu yang dapat mengurangi kejadian seseorang untuk melakukan pelecehan seksual terhadap anak. Di
Amerika
Serikat, menurut Kansas v. Hendricks,
pelanggar seks yang didiagnosis dengan gangguan mental tertentu, terutama
pedofilia, bisa dikenakan pada komitmen sipil yang tidak
terbatas, di bawah undang-undang berbagai negara bagian (umumnya disebut hukum
SVP) dan Undang-Undang
Perlindungan dan Keselamatan Anak Adam Walsh pada tahun 2006.
Dalam penggunaan populer, pedofilia berarti kepentingan seksual pada
anak-anak atau tindakan pelecehan seksual terhadap anak, sering disebut
"kelakuan pedofilia." Misalnya, The American Heritage Stedman's
Medical Dictionary menyatakan, "Pedofilia adalah tindakan atau fantasi
pada dari pihak orang dewasa yang terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak
atau anak-anak." Aplikasi umum juga digunakan meluas ke minat seksual dan
pelecehan seksual terhadap anak-anak dibawah umur atau remaja pasca pubertas dibawah umur.
Para peneliti merekomendasikan bahwa tidak tepat menggunakan dihindari, karena
orang yang melakukan pelecehan seksual anak umumnya menunjukkan gangguan
tersebut, tetapi beberapa pelaku tidak memenuhi standar diagnosa klinis untuk
pedofilia, dan standar diagnosis klinis berkaitan dengan masa prapubertas.
Selain itu, tidak semua pedofil benar-benar melakukan pelecehan tersebut.
Pedofilia pertama kali secara resmi diakui dan disebut pada akhir abad
ke-19. Sebuah jumlah yang signifikan di daerah penelitian telah terjadi sejak
tahun 1980-an. Saat ini, penyebab pasti dari pedofilia belum ditetapkan secara
meyakinkan.
Penelitian menunjukkan bahwa pedofilia mungkin berkorelasi dengan beberapa
kelainan neurologis yang berbeda, dan sering bersamaan dengan adanya gangguan
kepribadian lainnya dan patologi psikologis. Dalam konteks psikologi forensik dan penegakan hukum, berbagai
tipologi telah disarankan untuk
mengkategorikan pedofil menurut perilaku dan motivasinya.